Persiapan Pemberangkatan |
Muharram adalah bulan yang sangat berpengaruh pada sejarah kehidupan umat islam. suatu bulan yang menjadi pembuka tahun dalam kalender islam, Hijriyah. suatu bulan yang penuh barokah dan rahmah, kaena bermula dari bulan inilah (menurut dunia islam) berlakunya segala kejadian alam ini. bulan muharram termasuk juga 4 bulan yang dimulyakan oleh Allah SWT. (Al Taubah : 36)
Sejarah Bulan Muharram
Tradisi
penanggalan Hijriyah dirintis pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab RA. Pada
waktu itu muncul wacana diperlukannya penanggalan yang baku dan seragam untuk
berbagai urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Kemudian, muncullah berbagai
usulan dari para Sahabat. Pada akhirnya disepakati bahwa peristiwa hijrah Nabi
SAW dari Makkah menuju Madinah dijadikan patokan dalam perhitungan awal tahun
kelender Islam.
Dalam
sejarahnya, Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) pernah menerima surat
dari Gubernurnya di Bashra Abu Musa Al Asy’ari yang menyebutkan pada awal
suratnya berbunyi: “……menjawab surat Tuan yang tidak tertanggal…..”. Perkataan
pendek yang tampaknya tidak begitu penting telah menarik perhatian Khalifah
Umar, yaitu perlunya umat Islam mempunyai penanggalan yang pasti. Hingga
akhirnya diadakan musyawarah khusus untuk menentukan kapan awal tahun baru
Islam.
Dalam
musyawarah yang dihadiri oleh para tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat
itu, muncul beberapa usulan untuk menentukan kapan dimulainya tahun baru Islam.
Di antara usulan tersebut terdapat pendapat yang mengatakan penanggalan Islam
dihitung dari peristiwa penyerangan Abrahah terhadap Ka’bah, yang dikenal dengan
sebutan “Amul Fiil” (tahun Gajah) dan itu sudah sering dipakai. Ada yang
menyarankan penanggalan Islam dihitung dari turunnya wahyu pertama kepada
Rasulullah SAW, di mana waktu itu beliau secara resmi dilantik oleh Allah SWT
sebagai Nabi dan Rasul untuk seluruh umat. Ada juga yang mengusulkan
penanggalan Islam dihitung dari wafatnya Rasululah saw, dengan alasan pada
waktu itu diturunkan wahyu terakhir yang menegaskan bahwa Islam sebagai agama
yang sempurna. Dan ada pula yang berpendapat bahwa penanggalan Islam dihitung
dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah, dengan alasan karena
peristiwa itu merupakan pintu masuk kehidupan baru bagi Rasulullah SAW
dan umatnya dari dunia kemusyrikan menuju dunia tauhid (Islam).
Setelah
lama musyawarah bersama dengan berbagai pendapat dan argumentasi masing-masing,
akhirnya disepakati bahwa usulan terakhir itu yang diterima (penanggalan Islam
dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah), yang kemudian
diumumkan oleh khalifah bahwa tahun baru Islam dimulai dari Hijrah Rasulullah
Ssw dari Makkah ke Madinah.
Menariknya,
meskipun awal bulan Muharram merupakan awal tahun bagi tahun Hijriyah, ternyata
Muharram bukan awal permulaan hijrah Nabi SAW. Soalnya hijrah beliau jatuh pada
permulaan bulan R. Awwal tahun ke-13 kenabian (14 Sept 622 M), bukan pada awal
Muharram. Sedangkan antara permulaan hijrah Nabi Saw dan permulaan kalender
Islam (Muharram) sesungguhnya terdapat jarak sekitar antara 62-64 hari, dan
antara keduanya terdapat bulan Shafar.
Dalam
kitab tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah dari
Mekah ke Madinah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan
R. Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian
orang.
Adapun
penetapan Bulan Muharram sebagai awal tahun baru dalam kalender Hijriyah adalah
hasil musyawarah para sahabat nabi SAW pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra
saat mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang mengusulkan R. Awal
sebagai awal tahun dan ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun
kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan Muharram, dengan pertimbangan
bahwa pada bulan itu telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk hijrah ke
Madinah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah (ikrar penduduk Madinah yang datang ke
Mekah untuk masuk Islam). Di mana saat ada 75 orang Madinah yang ikut baiat
untuk siap membela dan melindungi Rasulullah SAW, jika beliau datang ke Madinah
di kemudian hari. Dengan adanya bai’at ini, Rasulullah SAW pun melakukan
persiapan untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski
ancaman maut dari orang-orang Quraisy senantiasa mengintai beliau.
Betapa
besar dan berat perjuangan Rasul SAW waktu itu hingga setiap datang tanggal 1
Muharram, ingatan kita terlukis kembali pada puncak perjuangan beliau SAW 14
abad silam. Suatu perjuangan untuk membebaskan kaum muslimin dari kezaliman dan
tindakan sewenang-wenang yang menimpa mereka dikarenakan tindakan orang-orang
kafir tersebut semakin hari semakin meningkat pada taraf yang sangat
membahayakan masa depan Islam dan kaum muslim. Dengan izin Allah SWT,
Rasulullah SAW beserta para sahabatnya yang setia, akhirnya meninggalkan tanah
kelahirannya yang tercinta Makkah Al-Mukarramah untuk pindah ke negeri yang
baru yaitu Yastrib (Madinah). Perpindahan beliau dari Makkah ke Yastrib
inilah yang disebut “hijrah”, dan oleh Khalifah Umar bin Khattab
dijadikan momentum dan starting point, pangkal tolok perjalanan sejarah Islam,
dengan ucapannya: “Hijrah itu memisahkan antara yang hak dengan yang batil,
karena itu jadikanlah catatan sejarah”.
Hijrah
Sebagai Penetapan Kalender Islam
Peristiwa
hijrah Rasul Allah Muhammad saw dan para sahabatnya, bisa kita ambil sebagai
suatu pelajaran berharga dalam kehidupan kita. Betapapun berat menegakkan agama
Allah SWT, tetapi seorang muslim tidak layak untuk mengundurkan diri untuk
berperan di dalamnya.
Dalam
sejarahnya, malam itu (menjelang hijrah) Rasulullah SAW akan keluar dari
rumah. Sementara di luar rumah, orang-orang yang ingin membunuhnya sudah menunggu.
Dengan izin Allah SWT (waja’alna min baini aidihim saddan wa min kholfihim
saddan fa’aghsyainahum, fahum la yubshirun), baginda Nabi SAW bisa melewati
para musuh yang telah mengepung rumahnya tadi dengan selamat.
Meskipun
berhasil melewati mereka, beliau tetap harus bersembunyi dahulu di sebuah goa
(tsur) karena musuh masih tetap mengejar. Namun mereka tidak berhasil dan
beliau dapat meneruskan perjalanannya. Meskipun demikian pengejaran tetap
dilakukan, tetapi Allah menyelamatkan beliau dan juga Abu Bakar yang
menemaninya hingga sampai di Madinah dengan selamat. “Allah senantiasa akan
menolong hambaNya selama ia mau menolong agamaNya”.
Perjalanan
dari Mekah ke Madinah yang melewati padang pasir yang tandus dan gersang, telah
beliau lakukan demi sebuah perjuangan yang menuntut sebuah pengorbanan. Namun
beliau yakin bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan “inna ma’al ‘usri yusron…”.
Begitu
tiba di Madinah, dimulailah fase kehidupan baru dalam sejarah perjuangan
Islam. Perjuangan demi perjuangan beliau lewatkan bersama para sahabat.
Menyampaikan wahyu Allah, mendidik manusia agar menjadi masyarakat yang beradab
dan terkadang harus menghadapi musuh yang tidak menginginkan akan hadirnya
agama baru (Islam). Tidak jarang beliau turut serta ke medan perang untuk
menyambung nyawa demi tegaknya agama Allah SWT, hingga Islam tegak sebagai
agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia saat itu. Lalu sudahkah
kita berbuat untuk agama kita?
Jika
dicermati dan direnungi dengan seksama apa yang terjadi dalam sejarah hijrah
tersebut, pemilihan hijrah sebagai titik perhitungan kalender Islam sangatlah
tepat. Di mana penetapan tersebut didasarkan pada esensi dari peristiwa hijrah
itu sendiri, yaitu suatu gerakan umat secara kolektif dari dunia kegelapan
kufur menuju kondisi yang lebih baik (Islam).
Daya
revolusi dengan hijrah sebagai inspirasinya, tidak mungkin terjadi jika umat
tidak menyediakan ruang koreksi bagi diri sendiri. Kita bisa sepakat bahwa
pertambahan usia manusia berbeda dengan usia mobil yang kian bertambah. Manusia
tua tidak sama dengan mobil tua. Jika mesin secara perlahan mengalami kerusakan
mekanis, aus, berkarat, dan sebagainya, maka semua itu beda dengan manusia.
Hakikat usia manusia terletak pada kesempatan untuk membentuk sikap dewasa dari
masa ke masa.
Jika
asumsi tersebut bisa diterima secara kolektif, usia peradaban manusia yang kian
menua harusnya menuju pada kematangan atau kedewasaan. Namun, tampaknya yang
terjadi tidak selalu demikian. Manusia kini memang banyak mengaku dirinya
modern, namun sering alpa jika mereka adalah bagian dari alam semesta yang
fana.
Arti
Muharram
Kata
Muharram, secara etimologinya diambil dari kata Arab
“Harrama-Yuharrimu-Tahriiman-Muharrimun-wa-Muharramun”, yang berarti
“diharamkan”. Yakni, Muharram adalah sesuatu yang dihormati / yang terhormat
dan yang diharamkan (dari hal-hal yang tidak baik). Sebagaimana tertulis dalam
sejarahnya, bahwa pada bulan Muharram ini umat Muslim diharamkan Allah untuk
berperang.
Bulan
Muharram adalah bulan yang pertama dan salah satu dari 12 bulan dalam kalender
hijriah yang tercantum pada Kitabullah, sejak Allah SWT menjadikan alam
semesta. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Maksudnya ialah: bulan Dzulqo’dah,
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri (Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu
dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan
itu dengan mengadakan peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.
(QS. Al Taubah: 36).
Adapaun
kata-kata “hijrah” dan pecahan katanya, dalam Alqur`an ada lebih dari 30 kata.
Kata-kata hijrah dirangkai dengan kata-kata “iman” dan “jihad”. Hal itu
menunjukkan bahwa hijrah itu adalah suatu tingkat dalam perjuangan (jihad) yang
berlandaskan kepada keimanan. Firman Allah SWT: “Orang-orang yang beriman, yang
berhijrah dan berjihad pada jalan Allah dengan harta benda dan dirinya, lebih
tinggi derajatnya pada sisi Allah, Mereka itulah orang-orang yang menang. Tuhan
menyampaikan berita gembira kepada mereka dengan beroleh rahmat, ridhaNya dan
surga yang di dalamnya mereka memperoleh nikmat yang abadi”. (QS. At-Taubah:
20-21).
Derajat
yang tinggi dari Allah SWT tersebut merupakan penghargaan bagi orang-orang yang
berjuang, berjihad dan berkurban demi agamaNya. Perjuangan harus dilandasi
dengan iman yang kuat dan mendalam. Jihad adalah upaya dengan sungguh-sungguh
sehingga nampak jelas garis pemisah antara yang hak dan yang batil.
Pada
tahun baru Hijriyah, Muharram, bagi orang yang tidak atau kurang mengerti
tentang Islam, mereka akan memperingatnya dengan cara yang kurang tepat karena
bertitik tolak dari anggapan yang kurang tepat pula. Mereka yang demikian
tersebut menganggap Muharram (syura) adalah bulan keramat, angker, atau naas
dan berbahaya. Oleh karena itu, peringatan yang diadakan juga bermacam-macam,
antara lain; begadang semalam suntuk, berjalan (pawai) semalam suntuk,
mengadakan sesaji ke laut atau tempat-tempat yang dianggap keramat, mandi
keramas (berendam) supaya awet muda, memandikan (marangi) pusaka, seperti
keris, tombak dan lain sebagainya.
Demikian
itu mereka lakukan karena menurut keyakinannya, mereka takut celaka, takut kena
musibah, dan sejenisnya. Padahal sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak diajarkan
oleh Islam, bahkan hal itu bisa mengantarkan pelakunya pada jurang kesyirikan
(musyrik), na’udzu billah min dzaalik.
Di sini,
yang paling relevan untuk dilakukan adalah apa yang pernah diketengahkan oleh
Amirul Mukminin, Umar Ibn Khaththab: “ Haasibuu anfusakum qabla an tuhasabuu ”
(Koreksilah diri kalian, sebelum kalian semua dikoreksi (di akhirat) kelak).
Dalam ungkapan itu yang dimaksud adalah seruan pada umat secara kolektif untuk
introspeksi diri pada apa yang pernah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Bukan
malah berpoya-poya, berpesta-ria, ber-SEPHIA-mesra
(Sabu-Ekstasi-Putaw-Heroin-Inex-Alkohol) dan ber-vulgaria bersama penjaja cinta
sebagaimana yang dilakukan oleh (sebagian) orang-orang Barat.
Betapa
sangat terpuji dan mulianya jika dana pesta-pesta tersebut, sarana dan prasana
penyambutan tahun baru yang tidak bermanfaat itu dialokasikan kepada mereka
yang masih selalu menjerit kelaparan, merintih kehausan, menangis kehilangan
papan (tempat tinggal), menggigil kedinginan dan yang mengerang kepanasan.
Masih adakah empati kita pada mereka? Ataukah empati itu sudah tertutup dengan
dinding tebal apatis dan egois kita?
Sejarah
Dalam Muharram
Sementara
dalam bulan Muharram, lebih-lebih tanggal 10 Muharram, yang disebut ‘Asyura,
atau bulan Suro (sebutan Jawa) banyak menitiskan peristiwa bersejarah pada
kita, kususnya apa yang pernah dialami oleh para Nabi dan Rasul Allah. Di mana
pada hari itu merupakan “hari pertolongan” bagi para Nabi.
Dalam
sejarahnya, pada hari itu terdapat beberapa peristiwa besar yang sangat
berpengaruh dalam sejarah eksistensi agama Tauhid (Islam), antaranya:
- Nabi Adam bertaubat kepada Allah dan dipertemukan dengan isterinya, Siti Hawa di Padang Arafah (Jabal Rahmah).
- Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit.
- Nabi Nuh diselamatkan Allah SWT dari perahunya setelah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.
- Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud.
- Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.
- Penglihatan Nabi Ya’kub yang kabur dipulihkan Allah kembali.
- Nabi Ayub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya.
- Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
- Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
- Nabi Musa AS menyeberangi laut merah menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun.
- Nabi Sulaiman dikaruniai Allah kerajaan yang besar.
- Nabi Ayub sembuh dari sakitnya yang kronis.
- Nabi Muhammad SAW lepas dari racun orang-orang Yahudi.
- Terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, Husain Ibn Aly ra. di bukit Karbala.
Pada
tanggal ini pula, ummat Islam zaman dahulu diwajibkan berpuasa sebelum adanya
perintah wajib puasa Ramadhan. Namun setelah turunnya perintah puasa Ramadhan,
maka puasa pada tanggal 10 Muharram menjadi sunnah. Sebagaimana dalam satu
riwayat disebutkan bahwa: “Rasulullah menyuruh kita berpuasa Asyura pada
tanggal 10 Muharram”. (HR Tirmidzi).
Kemudian
di hadits lain Rasulullah SAW meringankan puasa ‘Asyura menjadi sunnah dengan
sabdanya: “Barangsiapa yang ingin puasa Asyura, maka berpuasalah dan
barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, silakan meninggalkannya”. (Al-Hadits).
Karena peristiwa bersejarah yang cukup banyak terjadi pada 10 Muharram ini,
maka tanggal ini dianggap sebagai tanggal yang penting. Hingga ditetapkan
sebagai awal tahun dalam kelender hijriah, di samping bertendensi pada
kematangan Rasulullah saw untuk bersiap-siap hijrah pada bulan itu.
Anjuran
Dalam Bulan Muharram
Rasulullah
SAW menganjurkan kepada ummatnya untuk memetik nilai-nilai rohaniah dari
kejadian-kejadian tersebut dan menjadikannya hari peningkatan ibadah dan amal,
yaitu dengan berpuasa pada bulan Muharram. Sebagaiamana dijelaskan dalam
sabdanya: “Puasa pada hari Asyura menghapuskan dosa-dosa (kecil) pada setahun
yang lampau”. (HR Muslim). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
r.a berkata: Rasululullah saw. Bersabda: “Jika Aku masih hidup tahun depan,
niscaya aku akan benar-benar berpuasa pada hari “tasua’ (9 Muharram). (HR.
Muslim & Ibnu Majah), yakni demikian itu untuk membedakan kebiasaan kaum
yahudi yang suka berpuasa pada tanggal 10 Muharram untuk mengenang sejarah
keselamatan Nabi mereka, Musa as. Dan dijelaskan pula bahwa Rasul saw wafat
terlebih dahulu sebelum menjalankan puasa di hari tasu’a (9 Muharram) tadi.
Begitu
juga dianjurkan pada hari tersebut melakukan perbuatan kebajikan, yang termasuk
dalam kategori amal saleh seperti menyantuni fakir miskin, anak yatim,
orang-orang lemah dan sengsara, kaum atau keluarga yang membutuhkan pertolongan
dan lain-lain. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang melapangkan (memberi)
keluarganya dan ahlinya pada hari Asyura, maka Tuhan akan memberikan kelapangan
padanya selama satu tahun”. (HR Baihaqi)
Dengan
memahami hadits-hadits tersebut, jelaslah bahwa hari Asyura itu adalah hari
untuk beribadah dan beramal serta hari untuk merenungi sejarah. Juga sebagai
hari ‘inayatullah (pertolongan Allah), bertaubat, dan minta pertolongan Allah,
kususnya mulai tanggal 1 hingga 10 Muharram. Rasulullah SAW mulai mengerjakan
puasa ‘Asyura setelah hijrah ke kota Madinah dan sebelum turun ayat mewajibkan
puasa Ramadhan.
Dalam
suatu riwayat, Said bin Jubair dari Abbas RA mengatakan, ketika Nabi SAW baru
hijrah ke Madinah mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau
bertanya kepada mereka tentang hal itu, jawab mereka “Hari ini Allah
memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap Fir’aun dan kaumnya, maka kami puasa
karena menganggungkan hari ini”. maka Nabi pun bersabda: “Kami lebih layak
mengikuti jejak Nabi Musa dai pada kamu”.
Penutup
Setelah
membaca sejarah Muharram yang penulis suguhkan di atas, setidaknya ada beberapa
hikmah yang dapat dipetik untuk dijadikan cermin kehidupan kita sehari-hari.
Hiruk-pikuk dan zig-zag yang beraneka macam dalam kehidupan yang penuh
fatamurgana ini, sangat sulit kita lalui tanpa ada cermin yang menuntun.
Di
antara hikmah tersebut adalah kita bisa mengatakan bahwa usaha dan tawakal
merupakan kunci sukses dalam mengarungi hidup di dunia ini. Demikian
digambarkan Rasul saw bersama Abu Bakar RA saat bersembunyi di Gua Tsur dan
para pengejar mereka yang telah berdiri di mulut gua tersebut. Saat itu Abu
Bakar RA sangat gemetar ketakutan. Rasulullah SAW menenangkannya sambil
berkata: “jangan kuatir dan jangan bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita”.
(Al Hadits). Dengan usaha mereka berdua yang berangkat hijrah ke Madinah waktu
tengah malam dan selalu bertawakal kepada Allah, akhirnya berhasil terhindar
dari bahaya para pengejar yang hendak membunuhnya itu.
Dalam
pelaksanaan hijrah sendiri, segala bentuk pengorbanan akan sia-sia dan tidak
mendapat pahala di sisi Allah, jika tidak dilandasi dengan perasaan ikhlas
karena Allah. Hal ini terekam ketika di antara para sahabat yang ikut berhijrah
itu bukan karena Allah, tetapi karena hendak kawin dengan seorang wanita
bernama ‘Ummu Qais di Madinah. Perihal tersebut diketahui oleh sebagian
sahabat. Sesudah sampai di Madinah, ada orang yang bertanya kepada Rasululah:
“Dapatkah pahala orang yang hijrah karena hendak kawin?” Maka sabda Rasulullah:
“Tidak diterima amal-amal, melainkan menurut niat. Dan seorang tidak akan
mendapatkan sesuatu melainkan dari apa yang dia niatkan. Oleh sebab itu,
barangsiapa hijrah karena Allah dan RasulNya, maka ia akan dapat pahala hijrah
karena Allah dan RasulNya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia, maka ia akan
dapat keuntungan dunia itu atau hijrahnya karena wanita, maka ia akan berkawin
dengan dia. Maka (pendeknya pahala) hijrahnya itu menurut niat, karena apa ia
berhijrah”. (HR. Jama’ah)
Hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya juga membawa arti tersendiri dalam mempererat ukhuwah islamiyah antara orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah (muhajirin) dan orang-orang penduduk asli Madinah yang menolong perjuangan Islam (Anshar).
Hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya juga membawa arti tersendiri dalam mempererat ukhuwah islamiyah antara orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah (muhajirin) dan orang-orang penduduk asli Madinah yang menolong perjuangan Islam (Anshar).
Keharmonisan
hubungan antara kedua kelompok tersebut begitu mesra terbina, seakan-akan
semuanya saudara yang telah lama kenal. Kaum Anshar dengan segala keikhlasan
memberikan segala macam bantuan bagi Muhajirin yang telah meninggalkan harta
bendanya di Mekkah. Muhajirin pun ikut bersama membangun Madinah di bawah
pimpinan Rasulullah Saw.
Di sana
ada juga pengorbanan dan keyakinan (dalam ibadah; hijrah) yang tergambar dalam
jasa Ali bin Abi Thalib, yaitu ketika beliau tanpa ragu menyanggupi untuk
menggantikan Nabi agar tetap berada didalam rumah, bahkan beliau kemudian tidur
dan mengenakan sorban Nabi. Sungguh sebuah pengorbanan yang sangat heroik,
dimana Ali ibn Aby Thalib yang ketika itu masih seorang pemuda, rela untuk
menjadi tameng bagi kelangsungan hidup Rasulnya, yang berarti pula kelangsungan
dakwah Islam di muka bumi ini.
Nilai
ini juga ditunjukan oleh Abu Bakar as Shidiq, yakni ketika beliau berkata “Biar
saya yang masuk kedalam gua (Tsur) dulu, kalau ada binatang buas atau binatang
berbisa di dalam sana, saya rela mati, biar anda meneruskan perjuangan dan
dakwah anda”. Sebuah epik kepahlawanan dan pengorbanan yang luar biasa.
Kemudian dalam versi lain menambahkan bahwa ternyata benar Abu Bakar digigit
ular berbisa waktu itu, namun atas kehendak Allah, beliau selamat dalam
peristiwa itu.
Hikmah
lain, adanya upaya bagaimana menciptakan kondisi yang kondusif dalam
lingkungan, agar masyarakat bisa hidup dengan aman dan sentosa, damai dan
sejahtera, beretika dan beradab. Demikian tergambar dalam pada waktu Rasul SAW
sampai di tempat yang baru (Madinah). Di mana setelah itu Nabi SAW mengganti
nama “Yatsrib” (artinya; mengecam) menjadi “Madinah” (artinya; Kota Peradaban).
Hal ini
mencerminkan bahwa sebuah proses keberhasilan tidak akan dicapai ketika
orang-orang yang berada di dalamnya saling mengecam satu sama lain, kritik yang
tidak konstruktif, asal ganti dan lebih mementingkan kepentingan golongan dan
pribadinya semata.
Penggantian
nama Yatsrib menjadi Madinah, menyimbolkan bahwa keberhasilan hanya akan
dicapai dalam tata kehidupan yang beradab, dengan adanya sopan santun dan etika
berpendapat, kritik dan masukan, tata aturan yang mesti dipenuhi oleh
orang-orang beradab. Kemudian dibuktikan dalam sejarah masa kini, bahwa -di
manapun- tidak akan pernah bisa mencapai keberhasilan, ketika individu-individu
yang terlibat dalam proses itu saling mengecam, bahkan tak jarang menyebarkan
fitnah-fitnah keji. Sebaliknya, sebuah kondisi yang “beradab”, yang berdasarkan
tata aturan dan norma kesusilaan-lah yang mengantar sebuah bangsa, sebuah
kelompok atau apapun untuk mencapai keberhasilannya.
Jika
dicermati dengan seksama, akan kita temui bahwa hijrah Rasul saw mempunyai
banyak kelebihan dan pengaruh besar dalam eksisitensi agama Islam ini. Hingga
pantas hijrah rasul dijadikan patokan penetapan kalender Islam. Sebab,
peristiwa-peristiwa penting bersejarah yang lainnya, hampir semuanya terkandung
dalam peristiwa hijrah Rasul saw. Misalkan peristiwa Isra’ & Mi’raj, di
mana beliau mendapat perintah shalat wajib lima waktu, datang setelah + dua
tahun dari hijrah, peristiwa penaklukan kota Mekah, terjadi setelah hijrah, pun
wafatnya Rasul saw terjadi setelah hijrah.
Sedangkan
peristiwa kelahiran Nabi saw tidak dijadikan patokan kelnder Islam, karena
waktu itu beliau (masih bayi) belum bisa diketahui kalau kelak akan
menjadi rasul, hingga kelahirannya pun tidak jauh beda dengan kelahiran bayi
lainnya.
Awal
wahyu turun, jika dijadikan patokan kalender, sangat memungkinkan sekali akan
menimbulkan banyak hal, karena peristiwa tersebut dimulai dengan cara
“berkhulwah” (bertapa/ semedi). Di mana hal itu sering pula dilakukan
kebanyakan orang Jahiliah, dan sebagainya. Yang ahirnya menimbulkan statemen
bahwa Islam adalah agama Muhammad (Muhamadism).
Masih
ada beberapa nilai lain yang terkandung dalam peristiwa Hijrah tersebut, tapi
sayang tidak sempat terekam oleh ingatan penulis, mungkin bisa ditambahkan dan
diluruskan untuk yang tidak benar dalam tulisan ini. Semoga tahun baru Islam,
Muharram 1435 ini, kita semua umat Islam dapat mengambil hikmah yang banyak
terkandung dari sejarah hijrah tadi.
kegiatan tersebut sangat bermanfaat sekali ....
BalasHapus:) kok aku ga ada di situh yaaa... :D :D